Cerpen - Althea Alexandrine (2)

2. SELEPAS HUJAN


      Althea Alexandrine. Gadis muda berusia 15 tahun yang berhasil keluar dari neraka. Ia sering menyebutnya seperti itu. Sampai ia berpikir bahwa dewi keberuntungan sedang memihak kepadanya. Akhir-akhir ini ia selalu cemas, karena ia tidak tahu apa yang bisa ia lakukan tanpa ibunya. Ia mengakui bahwa dirinya hanya bocah lima belas tahun yang memiliki keterbatasan, ia tidak bisa melakukan apapun yang ia inginkan meski berapa banyak uang yang dimilikinya.


Gadis itu menghela napas panjang lalu menatap langit berawan hitam dengan gedung-gedung menjulang tinggi di sekitarnya. "Ini sudah hampir hujan" batinnya. Ia melangkah gontai mengikuti pria yang telah menyelamatkannya.


"Percepat jalanmu" ucap pria bernama Henry. Untuk seorang yang baru saja ia temui, Henry termasuk orang baik? entah lah, selama ini Thea tidak bisa menentukan sifat baik atau buruknya seseorang.


Thea terdiam, menarik napasnya seperti lelah. Karena ia tidak tahu akan berapa lama lagi ia berjalan, padahal kenyataannya ia hanya berjalan sekitar lima belas menit saja. Pria di depannya sedikit menoleh kebelakang, ekor matanya melirik sekilas bocah yang terlihat tidak memiliki nyawa. Ia memutar bola mata nya sambil berdecak kesal, merebut tas besar dari pundak Thea secara paksa. "Hei? Kembalikan." Serunya.


"Diamlah, sebentar lagi taxi akan datang, aku sudah memesannya". Wajah Thea tiba-tiba saja suram, ia tetap mengekori Henry dengan wajahnya yang terus menunduk kebawah.


Semestinya Thea membenci pria, iya itu nyatanya. 


Sejak dulu Thea tidak pernah menyukai seorang pria, dari segi mana pun tak ada yang membuatnya tertarik pada mereka. Setelah semua perlakuan mereka kepada dirinya, ia benar-benar membenci pria. Pria hanya sebongkah makhluk menjijikan yang tidak berarti untuknya. Henry, sebatas itu yang ia tau, malah Thea tidak ingin banyak tahu, ia hanya ingin menggunakan dan membuangnya setelah masalahnya selesai. Ingin nya begitu. Tapi lihatlah, ia bukan gadis yang memiliki keberanian untuk itu. Ia tidak mempunyai tekad sebesar itu. Thea hanya memiliki dendam yang tidak bisa ia balas.


Ia selalu ingin menyangkalnya, tapi ketika 'mereka' datang ia akan berpikir, "Inilah perempuan, selemah itu kita". Perempuan mudah di manipulasi, mereka sangat mudah terbunuh karena mereka sendiri lemah. Perempuan tidak bisa melakukan pembelaan, karena di mata semua orang memang inilah takdir mereka, dibawah para pria. Iya, katakanlah bahwa Thea gadis aneh. Ia yang membenci pria dan tidak bisa menerima dirinya yang lemah karena ia adalah perempuan. Kenyataan ini membuatnya muak.


"Naik, sebentar lagi pasti turun hujan"


Henry membuyarkan lamunan nya, tanpa ia sadari taxi sudah ada di depannya, ia cepat memasuki taxi. Dan benar saja saat mobil berjalan langsung turun hujan lebat, jika saja taxi ini datang lebih lambat maka mereka akan basah kuyup.

___



Beberapa saat yang lalu, ketika mereka baru saja ingin meninggalkan rumah sakit. Di tengah koridor, Henry menyuruh Thea untuk menyamakan langkahnya sehingga ia dapat bertanya dengan leluasa.

"Aku belum menanyakan namamu". Suasana yang tenang, keduanya berjalan sangat santai. "Althea Alexandrine" sangat ringan ia ucapkan, tapi berat untuk diterima, Henry sempat membatu setelah tahu nama itu. 


Sepuluh menit berlalu, Henry terus terdiam sampai Thea sendiri berpikir bahwa pria di sampingnya pasti sedang kesurupan. Tibalah mereka di depan lift, Henry memencet salah satu tombol disana namun dalam keadaan tatapan yang kosong. "Apa yang salah denganmu" Thea melambaikan tangannya. Pria itu seperti terbangun dari tidurnya, ia mengedipkan matanya dua kali. Siapa yang tahu apa yang terjadi dengannya. Mungkin saja benar, ia baru saja kesurupan.


Henry tersenyum kaku, "Maaf" ia kehilangan kata-kata. Thea mendahului, masuk kedalam lift. Mereka membiarkan suasana sunyi terjadi lagi.


Lantas Thea terkekeh pelan, menertawakan dirinya yang naif. Ia merasa salah di setiap langkahnya. Selalu ada rasa ragu didalam dirinya. Ia tidak tahu dimana ia harus berjalan. Iya atau tidak, ia bahkan tidak tahu. 


"Maaf merepotkan" Ujar Thea disela keheningan. Entahlah, inilah Thea. Gadis yang selalu menghancurkan dindingnya sendiri. Gadis yang terlalu lemah untuk tekadnya yang besar.


Henry menggenggam tangannya sangat erat, tak bisa dipungkiri saat ini ia sedang tertekan, banyak sekali hal lama yang muncul kembali di kepalanya. Ia menarik napas panjang. Lantas mengetik beberapa nomor di handphone nya dengan tangan yang bergetar. Henry menghela. "Lagi pula aku bukan tipe pria yang bisa meninggalkan tanggung jawab, apalagi dengan bocah sepertimu" kembali dengan wajahnya yang tenang.


"Dan berapa umurmu, saat ini?" 


Thea menatap pria disamping nya, Henry terlihat sangat ingin tahu tentang dirinya, padahal sebentar lagi mungkin mereka akan berpisah. Ia hanya perlu berucap 'terimakasih' dan pergi. Sangat tidak mungkin baginya berlama-lama dengan pria, itu mengerikan."Apa itu perlu" tak ingin basa-basi, memang itulah yang harus diucapkan. "Itu perlu" Jawab Henry dengan tegas tanpa menatap lawan bicara nya. 


Pandangan mereka teralih kan dengan lift yang sudah terbuka, keduanya berjalan keluar, Henry kembali melontarkan pertanyaan. "Apa kau keberatan jika berada di bar?". Mata Thea berbinar, itu bukan pertanyaan yang susah ia jawab. "Tidak. Aku menyukainya, disana aku bebas." ujarnya dengan bangga. Henry mengiyakan. 'Menyukai'? kata itu terlintas didalam otak Henry, bukannya terkejut, ia justru mewajarkan. Wajah polos seperti ini jika nama belakangnya adalah 'Alexandrine' apa boleh buat.


"Bagus, maka dari itu aku bertanya berapa umurmu" Alibi nya.


"Lima belas tahun" Yah, pada dasarnya ia hanya bocah lima belas tahun.


Henry tidak membalas, tujuannya hanya untuk mengetahui berapa umur Thea. Perkara bar, ia bahkan tidak akan membiarkan bocah sepertinya berbaur dengan orang-orang penggila minuman. Lagipula Henry sendiri adalah pemilik bar tersebut.


Sampai di aula mulai terasa ramai, mungkin ia terlambat untuk ini tapi-

"Setidaknya, ganti bajumu ketika sudah tau baumu seperti bensin. Bukannya ingin menggurui, tapi lebih baik kau minum wine selain Riesling" Thea memutar bola matanya kesal.


Pria disamping nya menaikkan kedua alis nya dan melirik Thea dengan erotis, "Jadi dari tadi kau mengendus badanku?. Sebagai gadis cilik otakmu lebih dewasa dari yang kubayangkan"


Thea bergidik ngeri dan memperlebar jarak nya dengan Henry. "Dan sebagai pria dewasa kau terdengar seperti pedofil." ucapnya terang-terangan. Ia terus mengumpat di setiap langkahnya. Dan menyadari, seharusnya ia tak melakukan itu.

______



Saat ini. Iya, masih hujan, hujan yang semakin lama semakin deras. Bar milik Henry memang sedikit lebih jauh. Karena semalam secara kebetulan Henry sedang berjumpa dengan teman masa sekolahnya dulu, ditambah lagi ia mabuk. Tubuhnya basah kuyup terguyur beer. Berjalan sempoyongan keluar dari gang dan bertemulah dengan Thea yang juga sedang berjalan sempoyongan karena kelaparan, dan secara tidak sadar Henry menolong Thea lalu membawanya kerumah sakit terdekat. 


Sudah hampir satu jam mobil ini berjalan, akhirnya mereka sampai ditempat yang mereka tuju. Lebih mewah dan berkelas. Namun masih saja sama dengan bar milik kakaknya yang berisi beberapa pelacur dan penggila minuman. Tempat ini tersembunyi, didepan terlihat seperti bangunan biasa terdapat beberapa preman bertubuh lebih besar daripada Henry. Sedikit kedalam terdapat lorong gelap dan terdapat siluet grafiti di tembok tembok, lantas terdapat beberapa anak tangga dan bar yang mewah itu ada disini. Seperti biasa gelap bercat hitam.


"Wah, tempat ini milikmu?" Thea mengangga.


Tidak banyak orang disini, karena mungkin masih sore hari. Namun baru saja masuk sudah tercium asap rokok dimana mana, minuman keras berkelas tinggi, namun tak banyak yang meminumnya. Bapak-bapak bertubuh gempal dipojok sana, salah satu yang meminum minuman beralkohol tinggi.


Thea menyimpulkan. 


"Siapa bocah ini? Kau di sudah tumbuh menjadi pedo? Hahaha" ucap seorang pria berkucir yang menghalangi langkah Henry. Salah satu seorang yang dekat dengan Henry. 


Thea mundur beberapa langkah, membuatnya menabrak pria besar bertato. Thea pikir pria ini sedang mabuk. Parahnya lagi beberapa pria mengerubunginya, jaraknya dengan Henry memang dekat namun di depannya Henry sedang berbicara dengan pria berkucir tadi. Jelas Thea ketakutan, meskipun ini bukan kejadian pertama di hidupnya namun ini berbeda. Tubuhnya bergetar, beberapa pria ini semakin lama semakin mendekat. Keringatnya bercucuran, jantungnya berdetak lebih kencang. 


"He--" bibirnya sudah bergetar ingin memanggil Henry, namun sebenarnya ia bimbang. Ia masih belum sepenuhnya percaya.


"Dasar, setidaknya jangan memangsa bocah lima belas tahun." Henry menyingkirkan beberapa pria yang mengerubungi Thea, lantas menggandengnya. Disana Thea menatap Henry dengan tatapan takjub.


"Bubar." Ujar Henry membuat pria pria tersebut menghindar darinya.


Thea menghela napas lega, "Berteriaklah dasar gila. Mereka adalah pria, bodoh. Asal kau memiliki lubang, mereka akan meneteskan air liurnya" jelas Henry sembari membawa Thea masuk ke tempatnya.


Tak perlu dijelaskan pun Thea sudah tahu, sepontan Thea berucap. "Kau juga seperti mereka?" 


"Hah? Aku tidak tertarik dengan bocah berumur lima belas tahun sepertimu! Sebenarnya apa yang kau pikirkan tentangku?" Thea hanya tertawa mendengar perkataan Henry. Seperti hal yang mustahil untuk ia percaya, ia masih saja dibuat terkejut oleh pria satu ini. Henry membuka pintu, ini adalah ruangan miliknya seorang. Sebelumnya tak ada yang pernah memasukinya, namun kali ini ia membukakan pintu kepada Thea.


"Masuk. Kubawakan makanan, lalu istirahatlah. Tengah malam nanti aku akan kembali. Jangan sentuh apapun yang bukan milikmu!" Thea menelan ludah, ia mengangguk patuh daripada mati konyol.

__


Jam dinding di ruangan Henry menunjukkan pukul 01.54. Thea benar-benar sebal semalaman berada di ruangan ini sendirian. Tidak ada teman mengobrol, ia juga sudah lelah seharian menatap layar ponselnya. Henry memang tak memiliki perasaan, gadis ini dikunci dari luar. Hal ini membuat Thea terheran-heran. Apa salahnya keluar dari sini, Thea juga bisa berguna sesekali, misalnya membantu mengantarkan beer atau membersihkan meja?. Tidak di keluarganya, tidak disini, ia diperlakukan seperti manusia tak berguna. Bunyi kunci pintu membuat Thea bergegas menghampiri. Ia tak sabar ingin menghirup udara luar. Begitu pintu terbuka, Thea menghampiri Henry lantas menatapnya tajam. 


"Kau gila?" Singkat namun terlihat betapa kesalnya Thea.


Henry menghela napas panjang. Ia melepas rompi miliknya.

"Patuhi perintahku. Jika saja kau keluar hal buruk akan terjadi padamu.". 

Entah apapun itu yang terucap pada mulut Henry rasanya selalu benar. 


Dan Thea sedikit kesal.


"Karena aku tidak diperbolehkan pergi ke bar mu. Dan kau memperlakukan ku seperti tahanan penjara, apa kau pikir aku peliharaan mu?. Aku bisa gila jika berada disini!" Wajah Thea sangat bisa ditebak, antara bingung dan malu. 


"Lebih baik kau mencarikan apartement atau semacamnya untukku. Benar-benar tak memiliki perasaan." Umpatnya dalam hati. Ia kembali kedalam kamar dan bergegas merapikan barang-barangnya.


Pria ini tidak percaya dirinya akan menghentikan Thea.

"Jangan seenaknya memutuskan sesuatu." Henry menyenderkan punggungnya sembari menatap Thea yang tengah membenahi barang-barangnya.


"Bukankah sudah cukup kau membantuku? Seorang pria dari antah berantah sepertimu membantuku beberapa kali. Bukankah itu cukup aneh? Maaf jika aku mencurigai seorang yang telah menyelamatkanku" Henry tercengang, ia bertanya-tanya kepada dirinya. Apa sikapnya terlalu berlebihan?.


Lagipula, bagaimana ia bisa tega dengan bocah yang menyandang nama Alexandrine. Nama yang tidak asing di telinganya, sejak kecil Henry selalu mendengar nama Alexandrine. Henry kembali menghembuskan napas panjang, "Itu bukan aneh. Karena kau adalah Alexandrine."


Sebenarnya Henry sudah tidak ingin berurusan lagi dengan keluarga merepotkan seperti halnya keluarga Alexandrine. Henry pikir ini semua sudah berakhir di keluarganya, ia pikir api itu sudah padam. Sejak Henry tahu bahwa nama gadis itu adalah Alexandrine, hatinya bergejolak, kedua tangannya bergetar. Gadis berumur 15 tahun tidak mungkin berkelana sendirian karena misi atau utusan dari keluarganya. Saat itu juga Henry berpikir bahwa Thea telah kabur dari kediaman keluarga Alexandrine. Entah apa yang terjadi pada Thea, tapi dulu Henry melakukan hal yang sama. 


Saat itu, ia memang anak bungsu. Namun Henry tidaklah lemah, daya ingat, prestasi, kemampuan beladiri. Semua itu melebihi saudara-saudaranya. Bahkan Ben si penasehat mengusulkan agar Henry yang mewarisi gelar 'Far' (Kepala Keluarga) di keluarga Desmond suatu hari nanti. Namun ayahnya menolak, ujar sang ayah, "Kesabaran, ketenangan, berpikir positif tidak ada pada diri Henry. Keluarga ini membutuhkan pemimpin berwibawa bukanlah preman"


Baik. Alasan ayahnya tidaklah buruk. Hanya sedikit membekas pada hati Henry. Ia menerimanya, dan ia akan berusaha menjadi seorang yang ayahnya inginkan. Ia akan menunggu. Lagipula umurnya masih sangat muda untuk menjadi seorang Far pada saat itu.


Namun kesabaran itu sudah dihancurkan oleh keputusan ayahnya yang menunjuk anak tengahnya untuk mewarisi gelar 'Far'. Owen Desmond, Henry tahu betul apa saja yang diperbuat oleh kakak tengah nya ini dibalik layar. Keputusan itu dibuat tergesa-gesa sebab keadaan saat itu sedang sangat buruk. Ayah Desmond sudah berada diujung maut, ia mulai sakit-sakitan, beberapa kali mengunjungi rumah sakit. Putra sulung sudah lama tiada, mati terbunuh di umurnya yang masih 25 tahun, sampai saat ini masih belum diketahui pelakunya. Putri satu-satunya keluarga Desmond, Nero Desmond mati dibunuh oleh keluarga Alexandrine.


Putra Keluarga Desmond yang tersisa pada saat itu hanya Owen, Jacob, dan Henry. Tentu putra yang mendekati untuk mewarisi gelar 'Far' adalah Henry. 


Selepas Owen mendapat gelar 'Far' hal buruk itu terjadi. Semua angan-angan Henry terjadi secara nyata. Keluarganya rusak, semua aset keluarga digunakan oleh Owen semena-mena. Ia melupakan tujuan utama dibentuknya Oila Desmond. Cara bekerjanya kelompok ini lebih mengerikan daripada Mafia. Bukan hanya peredaran narkoba, penipuan, pemerasan atau penculikan. Mereka bahkan melakukan human trafficking, pembunuhan tanpa sebab, perbudakan, dan hal keji lainnya. Henry sendiri mengakui, kelicikan kakak tengahnya itu tidak tertandingi. Lalu yang membuat amarah Henry memuncak adalah ketika ayah yang ia hormati itu dibunuh oleh Owen didepan matanya sendiri. Ia bahkan tidak tahu apa motivasi dibalik itu.


Saat amarah Henry meluap, ia menarik pelatuk dan menembakkan pada Owen. Sasarannya tepat pada kepala Owen, namun yang terkena bukan Owen melainkan kakak termudanya, Jacob. Owen menggunakan Jacob sebagai tamengnya. Jacob mati sia-sia, disana Henry hanya sendiri. Yang bisa ia lakukan hanya berlari.


Dunia ini neraka.


Henry tidak mau seseorang merasakan betapa perihnya masalalunya. Ia bahkan lebih memilih hidup menjadi manusia biasa daripada menjadi salah satu anggota kelompok gila.

"Hei... Henry~"


Clap Clap


Bunyi tepukan tangan didepan wajahnya membuat Henry terbangun dari lamunannya. Bukan, bukan Thea yang ada didepannya. Melainkan seorang wanita berawakan tinggi semampai, berpakaian terbuka, memakai high heels dan juga terdapat sejumlah tatto dibagian tubuhnya. Layaknya seperti pelacur.


"Tolong jangan menatapku seperti itu" Senyumnya mengembang, ia terlihat sangat manis.


"Emma" Itu namanya, karena Henry menyebutnya seperti itu.


"Hm, lalu dimana gadis yang kau ceritakan tadi? Siapa namanya, em.. Attha?"


"Damn, kemana dia pergi" ujar Henry sembari berlari keluar ruangan.

"Emma! Kunci ruanganku!" 


Emma, nama yang indah bukan? Namun tidak dengan perilakunya. Ia adalah teman Henry dari zaman orok, wanita yang sedikit bar-bar. Umurnya lebih tua dua tahun daripada Henry. Jika seseorang menyebutnya pelacur mungkin saja pantas. Tapi Emma tidak akan membiarkan itu terjadi, ia bisa saja membunuh orang tersebut.


"Bajing@n itu selalu saja merepotkanku!" 

"Lagipula, apa apaan ini. Sejak kapan dia memiliki ruangan seperti ini.. ."



Thea berlari seperti dikejar hewan buas, melintasi ruangan ruangan gelap, ia beberapa kali mengumpat sial. Dadanya sesak, betapa malang dirinya, Thea sudah tidak tahan dengan dunia ini. Ia ingin menangis. Mengapa dari sekian banyak orang di dunia ini harus Henry yang menyelamatkan dirinya. Tak ia sangka Henry adalah salah satu orang yang mengetahui seluk beluk nama Alexandrine. Ia merasa bodoh, tak seharusnya ia membeberkan nama Alexandrine kepada orang asing.


Sesaat ia merasa dirinya adalah manusia terkutuk yang tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Seandainya, dirinya mati saja saat itu. Dengan begitu, penderitaannya akan berakhir. Ia menangis disepanjang langkahnya. Ditengah jalan ia terhuyung, berjongkok, memeluk kedua kakinya yang gemetar.  "Ibu.. Kumohon- biarkan aku mati! Aku tidak tahan lagi, sudah cukup aku menderita. Aku tahu, aku tahu Tuhan tidak akan memberiku kebahagiaan didunia ini meski itu satu hari! Biarkan aku mati, biarkan aku mati! Kumohon! Aku tidak ingin berlari lagi!--- Hah?" Di malam yang sepi, Thea mengucap seolah bukan berasal dari akal sehatnya.


"Aa.. hh ahhhh apa yang kukatakan?!"


Thea menangis tersedu-sedu. Ia kehilangan arah, ia membodoh-bodohi dirinya sendiri. Thea takut setengah mati, bagaimana bisa ia berada dilingkup seorang yang mengenali keluarganya. Thea tidak ingin dipulangkan di keluarga Alexandrine lagi. Keluarganya adalah ketakutan terbesarnya.


Mau merubah takdir katanya? Omong kosong.


Komentar