Cerpen - Althea Alexandrine (3)
3. PERISTIWA MALAM
Malam sering menyisakan cerita panjang yang memilukan. Namun ada kalanya malam menumbuhkan kebebasan.
Henry memperlambat langkahnya ketika menemukan Thea meringkuk diatas jalan, tak ia duga Thea berlari sejauh ini, selain itu ia juga tidak tahu apa yang membuat Thea kabur darinya. Henry menatap tubuh yang terlihat rapuh itu. Berat, seakan atsmosfir bumi sedang mendekati Thea.
"Hey.. " Ah gawat, apa yang harus ia perbuat jika seorang gadis tengah menangis?.
"Jangan bawa aku pergi, kumohon. Bawa saja bangkai ku kepada mereka." Thea meracau.
Henry sepontan mengrenyitkan keningnya, omong kosong apa yang gadis ini katakan. Jujur Henry ingin tahu apa yang sebenarnya keluarga Alexandrine lakukan kepada gadis berusia lima belas tahun ini, sampai-sampai membuatnya berkata seakan lebih baik mati daripada harus hidup berdampingan dengan para monster.
Lengan Henry meraih pundak Thea. Terkejutnya Henry bukan main katika Thea justru menghindarinya dengan getaran diseluruh tubuhnya. Henry terdiam sangat lama, menatap iba gadis rapuh itu. Ia bahkan tidak tau apa yang harus ia katakan, ia membisu seketika. Henry hanya ingin membawa gadis itu kedalam dirinya, membuatnya berkata bahwa dunia itu indah. Ia tidak ingin lagi mendengar seorang berkata bahwa dunia ini neraka. Cukup dirinya saja.
Namun kenapa rasanya sangat sulit. Ungkapan apa yang harus ia katakan, kata apa yang harus ia pilih. Ia begitu frustasi. Jika saja dirinya gila ia akan langsung membawa gadis itu pergi dan menempatkannya ditempat yang nyaman untuknya. Tidak perduli seberapa jauh tempat itu. Iya, jika saja dirinya gila. Tapi tidak. Ia tidak memiliki banyak ungkapan mutiara, ia tidak bisa memberikan kata kata motivasi. Karena pada dasarnya Henry bukanlah seorang yang suka berbicara omong kosong. Jika itu yang harus ia katakan maka ia katakan. Tapi tidak dengan sekarang, ia takut ucapannya salah.
. . .
"Aku tahu dengan diriku. Aku tidak akan melukai bocah sepertimu baik itu melalui fisik ataupun psikis. Jadi, ayo ikut denganku, dan kau bisa bercerita apapun itu, tak peduli seberapa banyak itu."
Nihil. Thea terdiam seribu bahasa. Entah siapa sebenarnya sosok Henry, yang pasti ia mengetahui siapa itu Alexandrine.
"Dengar.. entah ini benar atau tidak namun biarkan aku mengatakanya" Henry duduk disamping Thea. Benar saja, ia takut salah bicara dan membuat gadis disampingnya semakin jatuh.
".. Kau berusaha lari dari kediaman keluarga Alexandrine. Aku tidak tahu apa sebabnya namun aku juga pernah melakukan hal sama. Kabur dari keluarga besar yang-- mengerikan- . Seperti yang kau tahu, aku bukanlah mata-mata keluarga Alexandrine atau apapun yang bersangkutan dengan keluargamu. Dan perlu kau tahu, kakak perempuan ku. Dibunuh oleh Samuel Alexandrine. Mungkin itu saudara tertuamu."
"Benar?" Henry memastikan.
Thea memejamkan matanya yang sembab, "Kau ingin membuktikan apa?" Dirinya benar-benar tidak mengerti. Ia bahkan tidak pernah berbicara sepatah kata pun dengan kakak tertuanya. Seolah, Samuel Alexandrine sama sekali tak perduli dengan kehadirannya.
Henry sempat ingin mengumpat, inilah yang Henry benci. Sisi perempuan yang tidak bisa ditebak. Apalagi bocah yang masih labil. "Aku hanya mengetahui nama Alexandrine, bukan berarti aku bersekutu dengan keluargamu. Aku Henry Desmond."
"Henry.. Des-mond? maaf jika aku tidak mengenalmu" Ia menghela napas panjang.
"Yang kutahu pria adalah makhluk kotor dan menjijikkan. Beberapa dari itu adalah iblis. Tak jauh berbeda dengan ayahku-- Lantas-- bagaimana aku bisa mempercayaimu sedangkan aku sendiri tidak mempercayai ayahku." Ucap Thea yang masih sesenggukan.
Suasananya hening, beberapa menit keduanya saling membisu.
Henry beranjak, mendekat kepada Thea. Tangannya bergemetar, ia tak bisa mengendalikannya. Ia merasa iba, Henry meraih kepala Thea dan mendekap tubuh Thea kedalam pelukannya. Bagaikan berkata kepada Thea, 'menangislah sepuasmu'. Dan benar saja, mata Thea kembali berlinang, ia meneteskan air mata. Henry merasa terhubung dengan Thea, seakan ia mengerti apa yang ia rasakan. Namun nyatanya, ia bahkan tidak tahu apa yang terjadi pada Thea. Henry hanya bisa mendekap gadis rapuh itu. Henry ingin mendengar lebih banyak darinya.
"Kau bisa mempercayaiku" ujar Henry disela isakan Thea. Ia rasa ia sudah benar.
Sendirinya pun tidak tahu, mengapa ia berada di dekapan seorang pria yang bahkan tak ia kenal. Saat ini Thea merasa dirinya sangat menggelikan, ia yang selalu mencaci maki pria didalam pikirnya, disetiap menit dan detik mereka membuatnya selalu membenci semua tentang pria.
Sebanyak buih lautan. Ibunya, Hannah Abriella berpesan padanya agar menjaga jarak dari pria selama hidupnya dan ia sudah berjanji dengan itu. Kini ia melanggar janji yang sudah ia tepati selama lima belas tahun.
Maaf, aku melanggar itu ibu. Aku hanya merasa tersimpan oleh pria satu ini. Jika saja langkah yang aku ambil kali ini kembali salah, biarkan aku sendiri yang menghukum diri ini. Aku akan mempercayai pria yang telah berani mendekap ku ini selain dirimu.
Ia pikir tak akan lagi melepaskan pelukan yang sama.
...
"Wah.. apa yang dilihat oleh mataku di tengah malam seperti ini?" Emma terkejut melihat penampakan sifat sahabatnya yang berubah 360 derajat. Jarang sekali Henry mendekap erat seorang gadis apalagi yang baru saja ia temui. Apakah Henry sadar atau tidak? Ia bahkan tidak pernah dekat dengan perempuan selain dirinya. Sama sekali tidak. Jadi dengan apa yang Emma lihat kali ini adalah sebuah keberuntungan untuknya.
"Diam. Pesankan high rise apartment"
Emma terkejut bukan main! "Hei! Bukannya dia masih bocah? Apa kau gila!!" Ucap Emma melotot tak terima.
Henry menatap malas sahabatnya itu, sebenarnya apa yang sedang ia pikirkan. "Kau yang berpikiran gila. Itu hanya untuknya, bodoh."
"Oh hahaha, kupikir kau sedang dimasa pubertas" Emma mengerutkan bibirnya.
"Emma, kumohon." Henry segera mengangkat Thea, setelah tahu gadis itu sudah tertidur pulas dipelukannya.
"Dan ceritakan kepadaku apa yang sedang terjadi malam ini"
___
NEXT
"Balas dendam yang sesungguhnya adalah MEMAAFKAN"
persetan dengan itu.

Komentar
Posting Komentar