Cerpen - Althea Alexandrine (Prolog)

 

BERANJAK.

Malam ini begitu dingin, sesuatu seperti menusuk kedalam tulangku. Sedikit demi sedikit kulangkah kan kakiku yang rapuh hampir terjatuh. Kudekap tas besar yang bisa menutupi tubuh bagian depanku. Mata sayu menahan kantuk. Rambut hitamku yang berantakan tak terurus. Namun ini lebih dari cukup, daripada terus menderita ditempat yang sama- ah. Memikirkannya lagi sudah membuatku satu langkah mendekati gila. Pukul 00:12 menurut arlojiku. Aku akan pergi ke seberang sana. Dimana beberapa orang masih berlalu-lalang. Pikirku mungkin sebagian dari mereka adalah pekerja kantoran dilihat dari pakaian mereka yang kini sudah mulai kusut.

Langkah pertama, ku telusuri gang sempit namun muat dengan badanku, kumuh dan bau tak sedap yang menusuk. Lantas kutemukan trotoar yang tidak terlalu ramai, masih ada bar dan toko-toko yang terbuka, namun juga tak banyak. Lampu-lampu jalanan menyorotiku dan membuat bayangan tubuhku yang memang terlihat seperti gelandangan tak makan dua bulan. Aku juga mencium bau tak asing dilubang hidungku, sedikit tercium asap rokok dan yang lainnya tentu aroma khas pesta malam seperti beer, wine atau minuman keras semacamnya.

Aku tak bisa menyangkalnya ketika satu atau dua orang sekitar menatapku dengan tatapan ganjil. Yah-- lagipula mengapa bocah sepertiku masih keluyuran tengah malam seperti ini dan lagi aku ini seorang gadis. Ketika mendengar ceritaku pasti orang tersebut akan membulatkan mata setidaknya pasti berkata "HAH?!" Tentu dengan wajah penuh tanya- Ahahaha.

Tanpa sadar langkahku sudah berada di ujung trotoar lainnya, yang maksudku diseberang tadi. Aku melanjutkan perjalanan dengan entah kemana kaki rapuhku ini akan berjalan. Aku tak memiliki banyak uang, namun ini sudah cukup untuk membeli satu apartement dan beberapa suap karbohidrat. Saat ini aku sangat amat menginginkan karbohidrat dan air. Setidaknya itu yang aku katakan sebelum-

Huh?! Mungkin sudah sampai sini saja. Tatapanku buram. Badanku oleng kesana kemari, kugapai tiang lampu yang tak jauh dari penglihatanku. Rasaku ingin terbaring. Pusing, lelah. Aku mulai ambruk namun terdengar sedikit seseorang berteriak kearahku.
____

"Bau Riesling."

Disini hangat, ayah masih berada di sampingku, ibu juga sedang mengecup keningku. Di depan sana, Sam tersenyum menatapku. Pemandangan indah yang selama ini ku inginkan. Siapa sangka ini benar-benar terjadi kepadaku? Kukira ini hanyalah mimpi semata.

"..-ei! ..Heii!!" Suara yang sama, aku mengingat itu. Suara terakhir yang kudengar. Samar samar juga kulihat wajah pemanggil tersebut. Mataku kubuka lebar, napasku ku hempas panjang. Yang kutemukan cahaya terang diatas kepala, bau menyengat yang sangat kubenci dan wajah seseorang tepat di depanku langsung membuatku terkejut lantas berteriak keras. Hampir nyaring didengar.

"Diam bodoh!!" Katanya sambil menutup mulutku, menghentikan teriakan ku. "Kau ini bocah gila juga bisa membuatku gila. Setelah membuatku menolongmu lalu perbuatan gilamu sesaat dengan mata terbuka lebar, bibir menyeringai lalu ketawa haha hihi, seperti kerasukan iblis dan kini mengapa kau berteriak?" Katanya sedikit melotot dan mungkin marah besar terhadapku. Dari perkataannya, sungguh aku harus berterimakasih. Tungg-

"Taskuu!!" Aku segera bangkit, bola mataku entah kuarahkan kemana, yang kucari adalah tas! Tasku dengan harta didalamnya!!

"Kubilang diam!" Ia menekankan. Tak heran aku langsung terdiam dan tidak jadi turun dari brankar. Kutatap seorang yang hanya kutahu adalah penyelamatku. Kulihat dari atas hingga bawah, dan pakaian yang ia kenakan basah? Yah-- karena itu aku melihat sedikit lekukan tubuhnya. Tubuh yang bisa disebut atletis, tinggi dan pundak lebar sehingga membuatnya terlihat gagah. Urat-urat muncul dikedua tangan serta lehernya. Lalu dari bentuk wajahnya, rahang keras terlihat. Dengan sorot mata tegas hazel, rambut model undercut coklat mendekati hitam.

"Kusuruh diam, terdiam. Namun kau letakkan dimana matamu itu bocah" Ah! itu mungkin mengganggunya. Aku juga harus minta maaf.

"Ehm-- maaf, dimana kau letakkan tas ku.. paman?-" kataku gugup sedikit ragu. Bagaimana jika umurnya lebih muda dari perkiraan ku?. Aku coba kembali menatap wajahnya. Dia memang seperti pria hebat semacam pria pria yang kujumpai sebelumnya.

"Umurku masih 24 tahun. Orang mengenalku memanggilku Henry. Dan jangan menatapku seperti itu."Logatnya bukan logat kasar namun aku merasa terpojok akan itu. Seakan ia sudah terbiasa melakukannya. Wtf?!-- tunggu! 24 tahun katanya? Dunia pasti sudah gila. Dilihat dari tubuhnya saja ia sudah seperti om-om berusia 30 tahunan.

"Tasmu ini? Aku tidak membukanya sama sekali. Jadi jangan salahkan aku jika sesuatu menghilang dari sana" ucapnya menaruh tasku dipangkuan ku. Lantas dengan cepat kubuka tasku yang amat sangat berharga ini setelah mendengar kata 'hilang' darinya. Kuteliti memang tak ada satupun yang menghilang. Smartphone ku juga masih ada didalamnya tak berpindah. Disisi lain, pria bernama Henry tersebut kembali duduk. Ia seperti melemah akan sesuatu. Kesan pertamaku, dia orang yang tangkas dan tajam. Sedikit berbeda dengan pria hebat yang kutemui sebelumnya, aku merasa ada sesuatu yang lebih darinya. Dan lagi aku masih belum percaya pria ini berusia 24 tahun. Orang luar ternyata lebih mengerikan dari dugaan ku.

"Apa sudah habis kau bercerita tentangku?" Ujarnya, seakan benar tahu aku tengah mendeskripsikannya. Aku hanya terdiam, lantas apa yang harus ku ucap? Tapi begitulah seseorang ketika bertemu orang baru. Apalagi seorang pria. Dan kulihat ia sedang sangat lelah, mungkin? Kepalanya menghadap keatas dan kedua tangannya dirangkul kan disisi kanan kiri sofa panjang berlengan tersebut.

Lalu arlojiku menunjuk-- pukul 4?!! Ini sudah pagi hari dan mengapa aku baru sadar akan hal itu. Apa dia menjagaku sampai sepagi ini?. Ah- aku berhutang. Namun.. mungkin ia tahu menahu tentang sesuatu ditempat ini. Aku bisa mengikutinya untuk beberapa saat.



Komentar